Beberapa waktu lalu, kita semua dibikin pusing soal aturan pembatasan barang dari luar negeri. Konon kabarnya, hal ini disebabkan maraknya bisnis jasa titip (jastip). Konsepnya sederhana, seseorang dapat meminta orang lain untuk membelikan sesuatu di luar negeri. Barang yang dibeli pun beragam, mulai dari makanan ringan, obat-obatan, buku, sampai dengan alat olahraga. Atas jasanya tersebut, jastiper akan memungut sejumlah fee atau ongkos membelikan dan membawa sampai ke tanah air. Pelanggan jastiper biasanya punya beranekaragam alasan, ada yang sekadar kangen makanan ringan atau khas negara tertentu, atau barangnya memang sulit ditemukan di Indonesia.
Terlebih dalam era digital dan globalisasi saat ini, bisnis jastip menjadi fenomena yang semakin populer di Indonesia. Dengan berkembangnya media sosial dan platform online, jasa titip semakin mudah diakses dan digunakan oleh masyarakat. Konon kabarnya pemerintah banyak kecolongan dari bisnis jastip ini, karena itulah muncul pengetatan pembatasan barang bawaan.
Peraturan baru ini menimbulkan polemik di masyarakat. Tidak hanya bagi jastiper, tapi juga bagi mereka yang rutin mengadakan perjalanan ke luar negeri, terutama untuk bisnis. Peraturan tersebut dianggap menyulitkan dan merepotkan proses perjalanan keluar negeri. Peraturan tersebut juga berdampak signifikan bagi pekerja migran yang ingin mengirimkan sejumlah barang kepada keluarganya di Indonesia. Meskipun akhirnya peraturan tersebut dicabut, tetap saja kekisruhan tersebut membuat dampak yang tidak sedikit di masyarakat.
Menilik dari hal tersebut, sebetulnya, bolehkah melakukan bisnis jastip? Untuk mengetahui hal tersebut, kita perlu mengetahui terlebih dahulu, seperti apa sih peraturan terkait barang bawaan dari luar negeri?
Barang bawaan dari luar negeri, kini dikembalikan lagi ke peraturan yang dibuat oleh Menteri Keuangan. Peraturan ini membatasi beberapa barang bawaan seperti misalnya barang elektronik maupun handphone. Akan tetapi, secara garis besar, barang bawaan yang masuk ke Indonesia dibebaskan dari pajak selama harganya di bawah 500 USD. Dalam sosialisasi yang dilakukan oleh Kepala Subdirektorat Humas dan Penyuluhan Bea Cukai, Hatta Wardhana dijelaskan bahwa aturan barang bawaan penumpang, tercantum dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 203/PMK.04/2017. Dalam peraturan tersebut dinyatakan bahwa barang pribadi penumpang yang digunakan atau dipakai untuk keperluan pribadi termasuk sisa perbekalan (personal use), dengan nilai pabean paling banyak FOB USD 500 per orang untuk setiap kedatangan diberikan pembebasan bea masuk dan pajak dalam rangka impor (PPN, PPnBM dan PPh pasal 22). Apabila melebihi batas nilai pabean tersebut, maka atas kelebihannya dipungut bea masuk dan pajak dalam rangka impor. Selain barang pribadi (non-personal use) dipungut bea masuk dan pajak dalam rangka impor.
Dengan adanya pengembalian peraturan kepada PMK tersebut, maka para jastiper bisa bernapas lega. Selama barang yang dibawa tidak bernilai lebih dari 500 USD, maka barang tersebut akan bisa keluar dengan aman. Akan tetapi, para jastiper jangan lupa untuk selalu jujur dan mendeklarasikan barang bawaannya dengan benar ya.